Sistem Nilai di Pesantren Dan Ahl-u ‘l-Sunnah wa ‘l-Jamâ’ah

SISTEM nilai yang digunakan di kalangan pesantren adalah yang berakar dalam agama Islam. Tetapi tidak semua yang berakar dalam agama itu dipakai oleh mereka. Kalangan pesantren sendiri, menamakan sistem nilai yang dipakainya itu dengan ungkapan "Ahl-u 'I-Sunnah wa 'l-Jamâ'ah".
Kalau kita lihat, Ahl-u 'l-Sunnah wa 'l-Jamâ'ah sendiri pertama-pertama adalah mengacu pada golongan Sunni. Maka dalam hal kalam atau ilmu ketuhanan, pesantren mengikuti madzhab sunni, sebagaimana dirumuskan oleh Abu Hassan alAsy'ârî, dan yang kemudian tersebar antara lain melalui karyakarya Imam Ghazâlî.
Dari teologi Asy'ârî itu yang biasa dipelajari oleh kaum santri adalah (khususnya) rumusannya tentang dua puluh sifat Tuhan yang terkenal itu. Santri menghafalkan itu di luar kepala, dan mereka percaya bahwa hal itu akan menjadi salah satu pertanyaan di alam kubur. Bahan pelajaran kalam yang paling umum digunakan adalah 'Aqîdat-u 'l-'Awâmm, sebuah buku kecil berbahasa Arab, dengan susunan nazham. Di beberapa pesantren, khususnya Jombang, nazham 'Aqîdat-u 'l-'Awâmm itu dijadikan "wirid" di masjid, dilagukan bersama pada waktu menunggu shalat, antara azan dan iqamat.
Meskipun menamakan diri Ahl-u 'l-Sunnah tetapi kaum santri tidak banyak yang menyadari adanya golongan-golongan lain di luar mereka (Ahl-u 'l-Sunnah), kecuali Mu'tazilah. Kaum Mu’tazilah menjadi target kutukan kalangan pesantren sampai sekarang. Sedangkan golongan Syi'ah yang merupakan golongan terbesar di luar Ahl-u 'l-Sunnah, tidak begitu disadari kehadirannya oleh kaum santri.
Tetapi sebaliknya, mereka menyadari sepenuhnya tentang adanya golongan reformasi di Saudi Arabia, yang mereka kenal sebagai golongan Wahhâbî. Selain golongan Mu'tazilah di atas, golongan Wahhâbî ini juga menjadi target kutukan kalangan kiai dan santri. Kiranya hal ini tidak begitu mengherankan, sebab peristiwa yang membawa kebangkitan kesadaran diri kaum kiai atau ulama di Jawa adalah peristiwa pendudukan Makkah pada tahun 1927 oleh kaum Wahhâbî yang datang dari Timur itu. Peristiwa itulah yang mendorong Kiai Abdul Wahab Hasbullah dan kawan-kawan dari pesantren Tambak Beras di Jombang untuk mendirikan organisasi dengan nama Nahdlatul 'Ulama. Mula-mula tujuan organisasi itu adalah mengirim utusan ke Makkah mengajukan resolusi rnenentang kaum Wahhâbî, atau sekurangnya menghalangi tindakan lebih lanjut dari golongan ini yang ingin "membersihkan" makam-makam dari Tanah Suci, karena menurut mereka (kiai Hasbullah dan kawan-kawan ini), masalah yang menyangkut Tanah Suci merupakan tanggung jawab bersama kaum Muslim. Sepanjang keterangan, antara lain dari Kiai Saifuddin Zuhri, seorang bekas Menteri Agama, usaha itu berhasil baik, dengan Kiai Wahab sendiri yang mengetuai utusan.
Tetapi konsep tentang Ahl-u 'I-Sunnah wa ‘1-Jamâ'ah itu lebih terasa dalam hal fiqh. Kaum santri dalam hal fiqh mengikuti dan mewajibkan mengikuti salah satu dari sekurang-kurangnya empat imam madzhab fiqh, yaitu Mâlikî, Syâfi'î, Hanafî dan Hanbalî. Di Indonesia sendiri yang umum dianut adalah Imam Syâfi'î. Pembelaan mereka kepada penganut madzhab itu sejalan dengan paham tentang taqlîd yang berposisi menjadi lawan ijtihâd. Sedang untuk ijtihâd ini diperjuangkan oleh organisasi reformasi di Indonesia, yaitu (terutama) oleh Muhammadiyah, Al-Irsyâd, dan Persis. Maka kalangan pesantren, dengan menamakan diri Ahl-u 'l-Sunnah wa 'I-Jamâ’ah membedakan diri dari golongan reformis itu, dan sering menyebut mereka (golongan reformis) secara tak langsung sebagai ahli bid'ah yang sesat.
Meskipun pada tingkat yang lebih tinggi perbedaan antara Ahl-u 'l-Sunnah wa 'l-Jamâ'ah itu adalah perbedaan antara mereka yang rnenganjurkan ijtihâd dan vang menganjurkan taqlîd, tetapi dalam kenyataan sehari-hari perbedaan dalam fiqh itu hanya terbukti dalam hal-hal yang amat sederhana, seperti persoalan niat sebelum wudlu (nawaytu), jumlah azan sebelum sembahyang jum’at satu atau dua kali, salat tarawih di malam bulan Puasa 11 rakaat atau 23 rakaat, dan tentang halal tidaknya beberapa binatang untuk dimakan, seperti katak, ular, dan musang.
Selain itu perlu kita ketahui juga bahwa dalam hal fiqh ini sikap-sikap kaum santri (terutama yang pesantrennya di desa-desa) banyak dipengaruhi oleh kitab Safînat-u ‘l-Najâh, sedangkan dalam hal keagamaan sikap mereka umumnya dibentuk oleh kitab Sullam-u ‘l-Tawfîq.
Persoalan lain yang membedakan kaum Ahl-u 'l-Sunnah wa 'l-Jamâ'ah dari lainnya ialah yang menyangkut masalah adat, khususnya adat Jawa. Kaum Santri menolak banyak sekali unsur-unsur adat Jawa, tetapi mempertahankan sebagian lain yang kemudian diberi warna Islam. Adat Jawa yang masih dipertahankan kaum santri dan yang paling banyak menjadi taret kutukan kaum reformis adalah sekitar selamatan. Yang dinamakan selamatan di sini adalah cara makan-makan untuk mendo’akan orang mati, baik pada saat meninggalnya maupun sesudahnya, seperti selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, setahun (pendak), dan seribu hari setelah meninggal. Selain selamatan-selamatan trsebut pada saat yang dirasa perlu keluarga yang meninggal ini bisa menyelenggarakan haul. Dalam selamatan itu biasanya dibacakan tahlil, suatu ritus dengan bahasa Arab yang intinya adalah membaca kalimat “Lâ ilâh-a illa ‘l-Lâh,” dengan maksud berdo’a untuk kebahagiaan yang meninggal, atau yang lebih kontroversial lagi (di mata kaum reformis) adalah “mengirimkan pahala wirid” itu kepada arwah yang meninggal.
Tetapi unsur kejawaan kaum Ahl-u 'l-Sunnah wa 'l-Jamâ'ah itu tidak hanya terbatas pada soal tahlil. Kebiasaan datang berziarah ke makam-makam tertentu adalah umum sekali di kalangan mereka. Hanya saja dalam hal ini menjadi tidak jelas, apakah kebiasaan ini lebih berakar dalam konsep-konsep sufisme ataukah jawanisme. Sebab sebelum Islam datang, agama yang ada adalah Hindu yang tidak rnengenal kubur atau makam. Dan makam yang banyak dikunjungi untuk ziarah itu umumnya adalah makam orang-orang yang dinamakan wali atau orang suci yang keramat, sehingga meskipun sudah meninggal akan mampu menolong memberi kesehatan, keselamatan, sukses dalam usaha, dan lain-lain. Di Jombang, makam yang paling terkenal ialah yang di Betek, Mojoagung, kurang lebih 10 KM sebelah timur Jombang menuju Surabaya. Setiap malam Jum'at beratus orang datang berziarah, dan pada malam Jum'at Legi jumlah itu dapat mencapai ribuan. Mereka datang dari segenap penjuru Jawa Timur. Makam lainnya di Jawa Timur yang banyak diziarahi adalah di Giri (makam Sunan Giri, salah seorang wali sanga) dan di Batuampar, Madura.
Selain kepercayaan kepada orang keramat yang telah meninggal, kepercayaan kepada adanya wali yang masih hidup juga umum sekali di kalangan kaum santri. Pada tahun 70-80 an di daerah Jombang sekurangnya ada seorang yang dianggap wali dan masih hidup, yaitu yang terkenal dengan sebutan Gus 'Ud, dari Mojoagung. Cerita tentang kekeramatan dan kekuatan gaibnya sangat umum di masyarakat. Kiai Hamid di Pasuruan juga dipercaya sebagai wali. Demikian pula Kiai Ramli (almarhum), tokoh pesantren Rejoso yang sampai kini dianggap paling besar dan merupakan guru mursyid gerakan tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah yang terbesar di Jawa Timur, adalah juga dipandang sebagai wali kaum santri di sana. Tidak perlu diterangkan lagi bahwa santri sangat menghormati para wali itu dan mengkultuskannya.
Tetapi memang terdapat unsur yang benar-benar berbau animisme kejawaan dalam sistem nilai kaum santri, dan mungkin contoh berikut ini termasuk yang sangat ekstrim. Contoh yang dimaksud adalah adanya pemujaan kepada sebuah pohon asem besar di Pati, Jawa Tengah, yang katanya ditanam oleh Syeikh Jangkung dari biji asem asal sayur asem yang dihidangkan kepadanya oleh sultan Jogya. Kayu asem itu dianggap keramat dan membawa berkah. Banyak pengunjung yang jauh-jauh datang hanya mencari berkah dari kayu asem ini. Lebih-lebih jika membawa cuilan kayu itu, pengunjung akan merasa beruntung dan akan membawanya pulang sebagai "jimat”. Karena itu ada yang berinisiatif untuk membuat tasbeh dari kayu asern itu dan menjualnya kepada masyarakat, seperti yang dulu pernah beli pada waktu kongres ke 5 Jam’iyah Tharîqah Mu'tabarah di Madiun bulan Mei 1975. Tasbeh itu dibungkus dalam kertas kaca, di dalamnya terdapat secarik kertas dengan keterangan dalam bahasa Jawa huruf Pego, yang artinya adalah demikian:
Tasbih Asma'
dibuat dari kayu asem
    Inilah pohon asem yang ajaib. Ditanam olek Syeikh Jangkung dengan suatu ciptann, dengan maksud hendak memberi berkah kepada abdi kepada kita semua yang mau berlindung di bawah bayangan do'a restunya, yaitu bagi orang yang percaya.
    Pohon asem tadi asal-usulnya adalah tanaman Syeikh Jangkung darl biji asem yang matang direbus ketika ketamuan Sultan Agung Jogya ada jamuan makan dengan sayur asem. Biji Asem itu dijatuhkannya di tanah dikatakan kepadanya demikian: "Hai biji asem, meskipun engkau adalak makhluk Tuhan yang telah mati sebab matang direbus, tapi kuminta engkau hidup dan tumbuh menjadi pohon besar yang berguna untuk tempat bernaung nanti akkir zaman bagi anak cucuku".
    Biji asem yang mati dan matang itu benar-benar hidup secara ajaib, (umur sehari sama dengan umur tiga bulan, umur sebulan sama dengan umur tiga tabun). Menanamnya pada hari Kemis Legi, sehingga sekarang oleh masyarakat dikenal dengan nama asem Kemis Legi.
    Pohon Asem itu sampai sekarang masih hidu dan telah berumur kurang lebih 450 tahun. Besarnya memerlukan pelukan tujuh orang untuk bisa sambung. Hanya sekarang telah keluar galihnya yang banyak khasiatnya untuk orang yang percaya. Para muslimin dan muslimat yang percaya pada mu’jizatnya Nabi harus percaya pada keramatnya wali. Apakah Anda percaya atau tidak kepada Syeikh Jangkung, tetapi yang penting ialah membuktikannya dengan meninjau ujud kenyataannya. Apalagi bagi kaum mukminin dan mukminat yang mau menanamkan perasaan cinta kepada wali, sedangkan kerbau cacad karena sungutnya patah saja tapi karena mengabdi dan mencintai Syeikh Jangkung dapat diberi keramat: yaitu berupa kulit kerbau londot yang terkenal.
Suatu perumpamaan, bahwa perumpamaan kulit kerbau londot, galih asem londot dan keris jangkung adalah hanya merupakan urutan nomer (seperti nomer rumah atau tilpun) yang penting ialah penghuni rumahnya. Karena itu marilah kita ziarah pada tanggal 15 Rajab, haul londot, Pati.
Tetapi betapapun dalam sistem kaum santri terdapat unsur kejawaan seperti tersebut di atas, namun di mata kaum abangan, kaum santri adalah pertama-tama anti Jawa dan bercorak kearab-araban Pelajaran agama hanya mereka pelajari dari kitab-kitab bahasa Arab. Karangan dalam bahasa lain, walaupun di bidang agama, kurang sekali mendapat penghargaan di kalangan kaum santri. Karena iu seorang kiai (yang mampu) jika hendak menyatakan pikirannya secara tertulis dan jika hendak serius atau biar diperhatikan santrinya, ia akan menulisnya dalam bahasa Arab. Selain tidak mau menulis dalam bahasa Jawa atau pun bahasa lainnya, kiai-kiai ini juga tidak merasa perlu menerjemahkan kitab-kitab pelajaran agama yang sulit-sulit itu ke dalam bahasa Jawa, padahal ini sangat perlu bagi kalangan umat yang berkeinginan dapat memahami isinya. Yang melakukan hal itu –bukan dalam bahasa Jawa, tetapi dalam bahasa Indonesia- hanya kaum reformis, khususnya Muhammadiyah dan Persis.
Segi anti Jawa lainnya dari sistem nilai santri adalah dalam bidang Kesenian ini tidak saja disebabkan dalam kitab "Sullam-u ‘l-Tawfîq” terdapat ajaran mengenai apa yang dinamakan "malahi", yang pasti mengenal kepada alat-alat musik Jawa seperti gamelan, atau kesenian lainnya seperti wayang, ketoprak, wayang wong, dan lain-lain tetapi juga terasa sekali karena kesenian tersebut banyak berbau Jawa asli dengan di sana sini terdapat unsur Animisme dan Hinduisme.
Sejalan dengan kearaban yang ada dalam. kitab-kitabnya (sumber-sumber untuk mempelajari agama), maka dalam kesenian pun kaum santri juga menerima dengan antusias dan rnenyenangi kesenian yang berbau Arab. Yang paling umum mereka tampilkan adalah qasidah-qasidah, rnengenai kehidupan Nabi seperti karangan Diba'î dan Barzanjî. Yang 1ebih tinggi tingkatannya adalah gambus, yaitu musik Arab mana saja, termasuk yang paling mutakhir seperti yang di Mesir dengan Ummi Kultsumnya. Perkumpulan gambus sebagai kesenian santri ini banyak terdapat di Jawa, yang terkenal antara lain al-Wardah dan al-Wathon dari Surabaya (nama-nama perkumpulan gambus selalu dalam bahasa Arab).
Akkir-akhir ini muncul jenis baruyang lebih “maju”, yaitu samrah. Samrah adalah seni musik juga, tapi sudah bercampur dengan unsur-unsur lain, khususnya tarian, dan umumnya hanya dilakukan oleh gadis-gadis. Tidak perlu dikatakan bahwa pertumbuhan kesenian ini evolusioner sekali sehingga sekalipun banyak segi-segi yang bertentangan dengan pelajaran-pelajaran dalam "Sullam-u 'I-Safînah,” namun kenyatannya diterima juga tanpa banyak persoalan.
Segi lain yang membedakan kaum santri dari lainnya adalah dalam hal pakaian. Meskipun akhirnya songkok dianggap sebagai simbul kebangsaan, terutama berkat propaganda Bung Karno, tetapi tutup kepala itu bagaimanapun sampai saat ni masih tetap secara umum dianggap sebagai pakaian kaum santri. Lebih khusus lagi ialah sarung, sehingga kaum santri juga sering diejek sebagai "kaum sarungan” sebagaimana pernah dilontarkan oleh Hadi Subeno, seorang tokoh abangan yang anti santri dan pernah menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah serta pernah pula menjadi ketua umum Partai Nasional Indonesia. Songkok dan sarung adalah simbul kaum santri, lebih-lebih di pesantren, meskipun sekarang sudah mulai banyak santri yang buka kepala dan bercelana.

Pola Pergaulan dalam Pesantren

PERGAULAN bisa diibaratkan as the core of the pesantren. Sebagaimana kita ketahui, pesantren merupakan tempat berkumpulnya para santri. Jadi kalau kita berbicara mengenai pola pergaulan di pesantren tentunya tidak bisa kita lepaskan dari santri itu sendiri. Perkataan santri digunakan untuk menunjuk pada golongan orang-orang Islam di Jawa yang memiliki kecenderungan lebih kuat pada ajaran-ajaran agamanya, sedangkan untuk orang-orang yang lebih mengutamakan tradisi kejawaannya biasanya disebut kaum "abangan".
Mengenai asal-usul perkataan "santri" itu ada (sekurang-kurangnya) dua pendapat yang bisa kita jadikan acuan. Pertama, adalah pendapat yang mengatakan bahwa "santri" itu berasal dari perkataan "sastri", sebuah kata dari bahasa Sanskerta, yang artinya melek huruf. Agaknya dulu, lebih-lebih pada permulaan tumbuhnya kekuasaan politik Islam di Demak, kaum santri adalah kelas "literary" bagi orang Jawa. Ini disebabkan pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Dari sini bisa kita asumsikan bahwa menjadi santri berarti juga menjadi tahu agama (melalui kitab-kitab tersebut). Atau paling tldak seorang santri itu bisa membaca al-Qur'an yang dengan sendirinya membawa pada sikap lebih serius dalam memandang agamanya. Kedua, adalah pendapat yang rnengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, persisnya dari kata cantrik, yang artinya seseorang yang selalu mengikuti seorang guru ke mana guru ini pergi menetap. Tentunya dengan tujuan dapat belajar darinya mengenai suatu keahlian. Sebenarnya kebiasaan cantrik ini masih kisa kita lihat sampai sekarang, tetapi sudah tidak "sekental" seperti yang pernah kita dengar. Misalnya seseorang seseorang hendak memperoleh kepandaian dalam pewayangan, menjadi dalang atau menabuh gamelan, dia akan mengikuti orang lain yang sudah ahli, dalam hal ini biasanya dia disebut "dalang cantrik", meskipun kadang-kadang juga dipanggil "dalang magang". Sebab dulu, dan mungkin juga sampai sekarang, tidak terdapat cara yang sungguh-sungguh dan "profesional" dalam mengajarkan kepandaian-kepandaian tersebut. Pemindahan kepandaian itu, sebagaimana juga dengan pemindahan obyek kebudayaan lain pada orang Jawa "abangan", lebih banyak terjadi melalui pewarisan langsung dalam pengalaman sehari-hari.
Pola hubungan "guru-cantrik" itu kemudian diteruskan dalarn masa Islam. Pada proses evolusi selanjutnya "guru-cantrik" menjadi guru-santri. Dan sekalipun perkataan "guru" masih dipakai secara luas sekali, tetapi untuk guru yang terkemuka kemudian digunakan perkataan "kiai", untuk laki-laki, dan "nyai" untuk wanita. Perkataan "kiai" sendiri agaknya berarti tua, pernyataan dari panggilan orang Jawa kepada kakeknya 'yahi, yang merupakan singkatan dari pada kiai, dan kepada nenek perempuannya nyahi. Tetapi di situ terkandung juga rasa pensucian pada yang tua, sebagaimana kecenderungan itu umum di kalangan orang Jawa. Sehingga "kiai" tidak saja berarti "tua” (yang kebetulan sejalan dengan pengertian “syeikh" dalam bahasa Arab), tetapi juga berarti “sakral", keramat, dan sakti. Begitulah, maka benda-benda yang dianggap keramat seperti keris pusaka, dan pusaka keraton disebut juga kiai.
Proses belajarnya santri kepada kiai atau guru itu sering juga sejajar dengan sesuatu kegiatan pertanian. Agaknya arti sesungguhnya dari perkataan “cantrik" adalah orang yang menumpang hidup atau dalam bahasa Jawa juga disebut ngenger. Pada masa sebelum kemerdekaan, orang yang datang menumpang di rumah orang lain yang mempunyai sawah-ladang untuk ikut menjadi buruh tani adalah juga disebut santri. Tentu ini juga berasal dari perkataan cantrik tadi. Dan memang bukanlah soal kebetulan jika seorang kiai adalah juga seorang pemilik sawah yang cukup luas. Umumnya memang demikian. Dengan sendirinya biasanya mereka adalah juga seorang haji.
Kedudukan guru atau kiai sebagai seorang haji (Jawa kaji) itu kiranya dapat menerangkan, mengapa kemudian proses belajar kepada seorang kiai disebut "ngaji". "Ngaji" adalah bentuk kata kerja aktif dari perkataan kaji, yang berarti mengikuti jejak haji, yaitu belajar agama dengan berbahasa Arab. Agaknya karena keadaan pada abad-abad yang lalu memaksa orang yang menunaikan ibadah haji untuk tinggal cukup lama di tanah suci sehingga ini memberi kesempatan padanya untuk belajar agama di Makkah, yang kelak diajarkan kepada orang lain ketika pulang.
Tetapi mungkin juga perkataan "ngaji" itu berasal sebagai bentuk kata kerja aktif dari aji yang berarti terhormat, mahal atau kadang-kadang sakti. Keterkaitan ini bisa kita buktikan dari adanya perkataan aji-aji yang berarti jimat. Jadi "ngaji" dalam hal ini berarti mencari sesuatu yang berharga, atau menjadikan diri sendiri aji, terhormat, atau berharga.
Terlepas dari apa pun asal kata-kata "ngaji", "santri", dan "kiai" ini, ngaji adalah memang merupakan kegiatan belajar yang dianggap suci atau aji oleh seorang santri yang menyerahkan dan menitipkan hidupnya kepada seorang kiai yang selain sangat dihormati juga biasanya sudah tua dan sudah menunaikan haji karena kemampuan ekonominya.
Pada mulanya seorang santri atau beberapa orang dapat ditampung hidupnya di rumah seorang kiai. Mereka itu bekerja untuk kiai di sawah dan di ladang atau menggembalakan ternaknya. Dan ketika bekerja ini kehidupan mereka ditanggung oleh kiai. Tetapi lama kelamaan hal itu tidak lagi terpikul oleh kiai, dan mulailah para santri mendirikan bangunan-bangunan kecil tempat mereka tinggal. Dalam bahasa Jawa (juga Indonesia), bangunan-bangunan kecil tempat tinggal mereka yang semula sementara itu disebut pondok. Karena itu pesantren juga sering disebut pondok. Pergi ke pesantren adalah pergi ke pondok atau "mondok", bagi orang yang ingin menjadi santri.
Setelah jumlah santri dalam sebuah pesantren menjadi semakin banyak, kiai juga tidak dapat lagi menyediakan pekerjaan bagi mereka yang biasanya digunakan untuk menghidupi mereka. Sebab sawah, ladang, dan ternak yang dimiliki kiai tentunya sangat terbatas dibanding dengan jumlah santrinya. Maka mulailah para santri memikirkan sendiri penghidupan mereka dengan berbagai jalan. Meskipun banyak yang mencari pekerjaan di sekitar pondok, misalnya menjadi tukang setrika, menjadi pembantu di warung, dan menyewakan sepeda kepada sesama santri, tetapi kebanyakan mereka menggantungkan hiaya hidupnya dari kiriman bulanan orangtuanya. Karena alasan menghemat (mereka berasal dari keluarga-keluarga sederhana di desa-desa) atau lainnya kebanyakan para santri mengerjakan sendiri segala sesuatu yang mereka perlukan seperti menanak nasi, memasak, mencuci pakaian, dan menyetrika.
Dalam pengajian biasanya kiai duduk di tempat yang sedikit lebih tinggi dari para santri. Kiai tersebut duduk di atas kursi yang dilandasi bantal dan para santri duduk mengelilinginya. Dari sini terlihat bahwa para santri diharapkan bersikap hormat dan sopan ketika mendengarkan uraian-uraian yang disampaikan kiainya.
Yang menarik adalah metode vang digunakan oleh kiai dalam pengajian. Sebagaimana kita ketahui kitab-kitab yang biasa diajarkan di pesantren adalah berbahasa Arab. Sehingga yang namanya ngaji adalah kegiatan mempelajari kitab bahasa Arab itu, dan sering kita dengar dengar ungkapan “ngaji kitab". Di pesantren ini hanya buku-buku yang berbahasa Arab yang disebut "kitab" sedangkan yang berbahasa selain Arab disebut “buku''.
Oleh karena kebanyakan santri belum mengerti bahasa Arab, maka kitab itu diterjemahkan kata demi kata ke dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan agak herbeda dari yang umum digunakan di masyarakat. Ia agak kuno, tetapi tidak dapat disebut sebagai bahasa Jawa Kawi. Terdapat pola-pola yang pasti dalam cara menterjemahkan itu, mengikuti kasus kata-kata Arab yang bersangkutan dalam kalimat. Misalnya kasus nominatif (mubtada’) akan selalu diterjemahkan dengan pendahuluan utawi, kasus sebagai khabar diterjemahkan dengan pendahuluan iku, kasus sebagai penderita diterjemahkan dengan pendahuluan ing, dan seterusnya.
Para santri mengikuti dengan cermat terjemahan kiai itu, dan mereka mencatatnya pada kitabnya, yaitu di bawah kata-kata yang diterjemahkan.Kegiatan mencatat terjemahan ini dinamakan maknani (memberi arti), juga disebut ngesahi (mengesahkan, maksudnya mengesahkan pengertian, sekaligus pembacaan kalimat Arab yang hersangkutan menurut gramatikanya). Kadang-kadang juga disebut njenggoti (memberi janggut), sebab catatan mereka itu menggantung seperti janggut pada kata-kata yang diterjemahkan.
Pengaiian adalah kegiatan penyampaian materi pengajaran oleh seorang kiai kepada para santrinya. Tetapi dalam pengajian ini ternyata segi kognitifnya tidak cukup diberi tekanan, terbukti dengan tidak adanya sistem kontrol berupa test atau ujian-ujian terhadap penguasaan santri pada bahan pelajaran yang diterimanya. Di sini para santri kurang diberi kesempatan menyampaikan ide-idenya apalagi untuk mengajukan kritik bila menemukan kekeliruan dalam pelajaran sehingga daya nalar dan kreatifitas berpikir mereka agak terhambat.
Sebaliknya, tekanan pada hal yang bernilai mistik lebih banyak terasa. Tampak sekali hubungan kiai-santri banyak merupakan kelanjutan konsep hubungan "guru-cantrik" yang ada sebelum Islam datang di Jawa. Karena itu sifatnya banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep Hindu-Buddha, atau sekurang-kurangnya konsep stratifikasi masyarakat Jawa sendiri. Santri akan selalu memandang kiai atau gurunya dalam pengajian sebagai orang yang mutlak harus dihormati, malahan dianggap memiliki kekuatan gaib yang bisa membawa keberuntungan (berkah) atau celaka (malati, mendatangkan mudlarat). Kecelakaan yang paling ditakuti oleh seorang santri dari kiainya adalah kalau sampai dia disumpahi sehingga ilmunya tidak bermanfaat. Karena itu santri berusaha untuk menunjukkan ketaatannya kepada kiai agar ilmunya bermanfaat, dan sejauh mungkin menghindarkan diri dari sikap-sikap yang bisa mengundang kutukan dari kiai tersebut. Dalam kesempatan menghadap kiai, misalnya karena minta izin hendak pulang atau pindah tempat santri akan seringkali mendengar ucapan kiai: "Baiklah, dan saya do’akan engkau akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat”.
Kitab “Ta’lîm-u ‘l-Muta’allim” karangan Syeikh al-Zarnuji adalah salah satu dari sekian kitab yang sangat mempengaruhi hubungan kiai-santri. Tidak diragukan lagi bahwa setiap santri diharapkan memenuhi tuntunan kitab itu dalam sikapnya terhadap kiai. Satu gambaran yang ideal tentang ketaatan murid kepada guru dalam kitab “Ta’lîm” itu yang banyak diikuti dan diterangkan adalah yang berbunyi: “Salah satu cara menghormati guru adalah hendaknya jangan berjalan didepannya, jangan duduk di depannya, jangan memulai pembicaraan kecuali dengan izinnya, jangan banyak bicara di dekatnya, jangan menanyakan sesuatu ketika sedang kelelahan, dan menghormati guru adalah juga harus menghormati anak-anaknya. Sebagaimana diceritakan oleh guruku Syaykh-u 'l-Islam Burhânuddîn pengarang buku Hidayah, bahwa seseorang dari kalangan ulama besar Bukhara pernah sedang duduk memberi pengajian (mengajar) dan dia berdiri di sela-sela pengajian itu. Para murid bertanya akan hal itu yang kemudian dijawabnya, "Sesungguhnya putra guruku, sedang bermain bersarna anak-anak yang lain di jalanan. Maka jika tampak olehku aku berdiri sebagai penghormatan terhadap guruku.” (Ta’lîm-u ‘l-Muta’allim, hal. 17)
Penghormatan kepada anak kiai ini biasanya juga diikuti dengan panggilan kehormatan untuk anak-anak kiai ini, yaitu "gus”. Anak kiai adalah seorang “gus” (noble, gentle) dan pantas untuk dipanggil demikian.
Segi mistis dalam pengajian juga terbukti dari adanya konsep "wirid” dalam pengajian. Seorang kiai secara konsisten mengai kitab tertentu pada saat tertentu, misalnya kitab Sanusiyah pada malam Kamis, adalah sebaga wirid yang dikenakan kepada dirinya sendiri, sehingga menjadi semacam wajib hukumnya yang kalau ditinggalkan dengan sengaja dianggap akan mendatangkan dosa.
Segi mistis itu juga membawa pada sikap-sikap santri yang berlebihan terhadap kitab-kitab yang dipelajarinya yang sebenarnya sikap ini kurang perlu bila ditinjau dari segi efisiensi dan manfaat yang bisa diperolehnya. Salah satu contoh dari sikap ini adalah para santri ini menghafalkannya di luar kepala. Yang paling banyak dihafalkan ialah kitab-kitab dalam bentuk puisi atau nazham, misalnya Alfiyah karangan Ibnu Malik dalam ilmu nahwu. Malahan hafal Alfiyah ini dianggap suatu prestasi yang sangat dihargai, sehingga perlu diadakan khataman yang biasanya dibuat cukup mengesankan. Ada satu cerita menarik, seorang santri, kebetulan dia anak salah seorang ulama besar di Indonesia, setelah hafal Alfiyah di pondok Tegalrejo, Yogyakarta, kemudian disuruh oleh kiainya untuk "mentashihkan" hafalannya itu ke seorang kiai lain di daerah Kroya. Ia pergi ke sana, tetapi mendapatkan kiai itu sedikit acuh, malahan begitu sampai di dalam dia disuruh pergi ke sawah membantu menanam padi di siang hari bolong, tanpa diberi kesempatan minum, apalagi makan. Tetapi dia taat, dan sepulangnya dari sawah dalam keadaan lelah dia dipersilahkan duduk di tikar seperti hendak mengaji, dan disuruh mulai membuktikan hafalannya. Untung sekali dia masih bisa mempertahankan hafalannya itu dalam keadaan kelelahan dan kelaparan. Kemudian kiai itu menyatakannya lulus. Lalu santri tersebut bersama beberapa orang kawannya berniat hendak menunaikan nazarnya, yaitu pergi jalan kaki ke Bangkalan, berziarah ke makam Syeikh atau Kiai Kholil yang terkenal sebagai seorang wali. Dalam perjalanan itu dia tidak membawa bekal apaapa, dan hanya menyandarkan kepada pemberian orang-orang di surau tempat dia menginap. Santri ini sengaja menghindari jalanan umum, karena kuatir tergoda untuk menumpang kendaraan yang lewat, dlsamping kuatir dikenali orang (karena dia memang terkenal, yaitu karena ayahnya) sehingga bisa membatalkan nazarnya.
Demikian satu contoh sikap seorang santri yang agak berlebihan dalam mempelajari kitab Alfiyah. Tetapi ada lagi yang menghafalnya dengan sedikit aneh, yaitu terbalik urutannya dari akhir ke awal, yang dinamakan “Alfiyah Sungsang”. Seorang santri yang sanggup menghafalkannya secara sungsang ini kemampuannya dianggap lebih tinggi dari yang menghafalkannya secara biasa.
Untuk pengajian biasa pendaftarannya adalah bebas, seorang santri bebas masuk, tanpa harus memberitahukan terlebih dulu. Dernikian juga dia bebas meninggalkan pengajian itu jika dirasa perlu. Waktu pengajian ini menggunakan waktu sembahyang sebagai ukuran. Sehingga pengajian biasanya diadakan sebanyak lima kali sehari, yaitu pada waktu sesudah (ba'da) Subuh, Zhuhur Ashar, Maghrib, dan 'Isya'. Biasanya untuk pengajian ba'da Maghrib agak jarang dilakukan karena waktunya yang terbatas sedangkan untuk pengajian ba'da 'Isya' biasanya digunakan untuk pengajian-pengajian yang penting.
Karena yang disebut "ngaji" adalah membaca kitab bahasa Arab yang ada hubungannya dengan agama —yaitu dengan cara menerjemahkannya— maka orang yang baru menguasai bahasa Arab seperti lulusan Gontor, sekalipun mereka itu bisa memahami isi kitab sepenuhnya, masih disebut belum bisa "ngaji". Sehingga mereka belum memenuhi syarat untuk mendapatkan predikat kiai. Memang pada waktu itu ada sedikit perubahan mengenai ketentuan menjadi kiai ini, tetapi esensinya relatif tidak berubah.
Setelah sebuah kalimat yang membentuk pengertian diterjemahkan, kadang-kadang guru atau kiai menjelaskan maksud kalimat itu dan menguraikannya dalam bahasa Jawa yang biasa dipakai para santri sehari-hari. Tetapi seringkali tidak ada penjelasan samasekali, sehingga santri dibiarkan memahaminya sendiri meskipun sebenarnya banyak yang belum mengerti. Satu hal yang menarik, bila seorang guru atau kiai mampu menguraikan terjemahannya dalam bahasa Indonesia dia bisa disebut cukup "maju". Tetapi dengan begitu proses belajar menjadi agak panjang, karena menggunakan tiga bahasa: Arab, Jawa, dan Indonesia.
Penerjemahan ke dalam bahasa Jawa tersebut tidak hanya dilakukan pada orang-orang Jawa saja, tetapi juga orang-orang Madura Bali, dan Sunda meskipun mereka memiliki bahasa daerah sendiri. Selanjutnya orang-orang ini kemudian menerjemahkannya lagi dalam bahasanya masing-masing. Bahkan hal ini juga dilakukan oleh orang-orang Jakarta (berbahasa Melayu) yang datang "mondok" ke pondok-pondok di Jombang pada waktu itu.
Konsisten dengan segi kearaban yang ada dalam pengajian, maka dalam menulis pun mereka menggunakan huruf Arab. Tulisan Arab untuk bahasa Jawa disebut Pego. Pemakaian huruf Pego ini begitu kuat menjadi ciri pengetahuan di pesantren. Begitu kuatnya ciri penggunaan huruf Pego ini, sebagaimana diceritakan Kiai Musta'in, ketika banyak santri mulai kirim surat dengan huruf Latin sebagai akibat adanya proses "sekularisasi" (didirikannya SMP, SMA, dan PGA) maka banyak wali murid yang mulai gelisah. Mereka gelisah karena menganggap anaknya sudah meninggalkan ciri kepesantrenan. Kegelisahan itu dinyatakan dalam berbagai kesempatan, khususnya pada waktu rapat wali murid yang biasa diselenggarakan tiap akhir tahun ajaran (menjelang bulan puasa).
Kebiasaan menulis dalam huruf Pego membuat masyarakat santri bisa berkomunikasi di antara mereka tanpa diketahui orang lain. "Esoterisme" ini memang semakin kendor, tetapi tidak mustahil akan menguat lagi jika terdapat kesadaran yang lebih mendalam pada masyarakat santri. Dan ini pernah terbukti, yaitu pada masa revolusi melawan Belanda dulu, semua hubungan, termasuk notulen rapat-rapat, banyak yang menggunakan huruf Pego. Contohnya, ketika NU mengadakan rapat di Madiun dengan TNI —pada waktu itu diwakili oleh Jenderal Sudirman— hasil rapat yang berupa fatwa wajibnya jihad melawan Belanda ditulis dengan huruf Pego.
Karena penulisan sebuah kitab hanya dalam bahasa Arab, maka dapat dikatakan praktis masyarakat pesantren, yaitu para kiai dan santri hanya menjadi konsumen objek budaya Arab. Sedikit sekali kiai yang mampu menulis kitab-kitab dalam bahasa Arab, seperti Kiai Ihsan dari Jampes, Kediri yang menulis kitab Siraj-u 1-Thâlibîn. Kitab beliau ini mencapai standar yang sangat tinggi dalam bidang penulisan kitab, dan dijadikan referensi utama di al-Azhar untuk memahami pemikiran al-Ghazali terutama yang terdapat dalam kitabnya yaitu Minhaj-u 'I-'Âbidîn. Kiai-kiai lain yang mampu menulis kitab dalam bahasa Arab adalah Kiai Hasyim, Kiai Ma'shum, dan Kiai Nawawi al-Bantani. Sedangkan kaum "intelek" santri umumnya menulis buku-buku dalam bahasa Jawa berhuruf Pego, dan jarang sekali yang menulis dalam bahasa Indonesia, apalagi yang menggunakan huruf Latin.
Karena sistem pengajian yang harus menerjemahkan terlebih dulu itu maka tidak mengherankan bahwa proses memahami dan menamatkan sebuah kitab begitu sulit dan panjang bagi seorang santri. Tidak jarang seorang santri yang telah mondok bertahuntahun, pulang hanya membawa keahlian “mengaji" beberapa kitab saja. Jika seorang santri rmerasa betul-betul menguasai sebuah kitab, dia bisa menghadap kiainya meminta tashhîh dan ijazah kelulusan. Jika ijazah itu diberikan, maka santri tersebut mempunyai wewenang untuk mengajarkan kitab itu kepada orang lain, dan mulailah dia menjadi seorang kiai baru. Dengan syarat-syarat menjadi kiai yang telah kita singgung di atas maka hanya santri yang benar-benar berbakat, rajin, dan cerdas yang bisa memperoleh predikat kiai tersebut.
Terdapat dua macam pengajian di pesantren yang berkembang pada waktu itu, yaitu weton dan sorogan. Weton adalah pengajian, yang inisiatifnya berasal dari kiai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun lebih-lebih lagi kitabnya. Sedangkan sorogan adalah pengajian yang merupakan permintaan dari seorang atau beberapa orang santri kepada kiainya untuk diajari kitab tertentu. Pengajian sorogan biasanya hanya diberikan kepada santri-santri yang cukup maju, khususnya yang berminat hendak rnenjadi kiai.
Untuk mengetahui gambaran kitab-kitab yang biasa diajarkan di pesantren pada waktu itu, maka berikut ini saya berikan contohcontoh kitab beserta kategorinya:
A. Cabang Ilmu Fiqh:
  1. Safînat-u 'l-Shalah
  2. Safînat-u 'l-Najâh
  3. Fath-u 'l-Qarîb
  4. Taqrîb
  5. Fath-u 'l-Mu'în
  6. Minhâj-u 'l-Qawîm
  7. Muthma'innah
  8. Al-lqnâ'
  9. Fath-u '1- Wahâb
B. Cabang Ilmu Taw_id:
  1. 'Aqîdat-u ‘1-'Awâm (nazham)
  2. Bad'-u 'I-Âmâl (nazham)
  3. Sanûsiyyah
C. Cabang Ilmu Tasawuf:
  1. Al-Nashâ'ih-u 'l-Dîniyyah
  2. Irsyâd-u 1-'Ibâd
  3. Tanbîh-u'l-Ghâfilîn
  4. Minhâj-u 'l-'Âbidî.
  5. Al-Da'wat -u '1-Tâmmah
  6. Al-Hikâm
  7. Risâlat-u ‘l-Mu'âwanah wa 'I-Muzhâharah
  8. Bldayat-u 'l-Hidâyah
D. Cabang Ilmu Nahwu-Sharaf:
  1. Al-Maqsûd (nazham)
  2. 'Awâmil (nazham)
  3. 'Imrîthî (nazham)
  4. Ajurumiyah
  5. Kaylani
  6. Mirhât-u'l-l'râb
  7. Alfiyah (nazham)
  8. Ibnu 'Aqîl

Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren

Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren
  I. Sekilas Tentang Pesantren

Pesantren atau pondok adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Sebab, lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Buddha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak berarti mengecilkan peranan Islam dalam memelopori pendidikan di Indonesia.

Seandainya negeri kita ini tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren itu. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa UI, ITB, IPB, UGM, Unair, atau pun yang lain, tetapi mungkin namanya "universitas" Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan seterusnya. Kemungkinan ini bisa kita tarik setelah melihat dan membandingkan secara kasar dengan pertumbuhan sistem pendidikan di negeri-negeri Barat sendiri, di mana hampir semua universitas terkenal cikal-bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan. Mungkin juga, seandainya kita tidak pernah dijajah, pesantren-pesantren itu tidaklah begitu jauh terpencil di daerah pedesaan seperti kebanyakan pesantren sekarang ini, melainkan akan berada di kota-kota pusat kekuasaan atau ekonomi, atau sekurang-kurangnya tidak terlalu jauh dari sana, sebagaimana halnya sekolah-sekolah keagamaan di Barat yang kemudian tumbuh menjadi universitas-universitas tersebut.

Dari keterangan sederhana itu saja mungkin kita sudah dapat menarik suatu proyeksi tentang apa peranan dan di mana letak sebenarnya sistem pendidikan pesantren dalam masyarakat Indonesia yang merdeka (artinya: tidak dijajah), untuk masa depan bangsa yang lebih "berkepribadian”. Gambaran konkritnya dapat dibuat dengan menganalogikan sebuah pesantren di Indonesia ambil sebagai misal Tebuireng) dengan sebuah kelanjutan “pesantren" di Amerika Serikat (ambil sebagai misal "pesantren" yang didirikan oleh pendeta Harvard di dekat Boston) Tebuireng menghasilkan apa yang bisa dilihat oleh rakyat Indonesia sekarang ini (di sini tak perlu dipaparkan lagi), dan "pesantren”-nya pendeta Harvard itu telah tumbuh menjadi sebuah universitas vang paling “prestigious”di Amerika. dan hampir secara pasti memegang kepeloporan dalam pengembangan ilmu pengetahuan modern dan gagasan-gagasan mutakhir. Demikian pula kaitannya dengan kekuasaan. Universitas Harvard memegang rekor dalam menghasilkan orang-orang besar yang menduduki kekuasaan tertinggi di Amerika Serikat. Tetapi di Indonesia sebagaimana kita ketahui, peranan "Harvard" itu tidak dimainkan oleh Tebuireng, Tremas ataupun Lasem, melainkan oleh suatu pergunian tinggi umum yang sedikit banyak merupakan kelanjutan lembaga masa penjajahan: UI misalnya.

Fenomena ini tentu memancing timbuinya pertanyaan, mengapa bisa terjadi demikian? Kalau kita tinjau secara agak mendalam, antara dunia pesantren dengan panggung dunia global abad ke XX, sebenarnya terjadi kesenjangan atau "gap”. Di satu sisi, dunia global sekarang ini masih didominasi oleh pola budaya Barat dan sedang diatur mengikuti pola-pola itu. Sedang di sisi lain pesantren-pesantren kita disebabkan faktor-faktor historisnya, belum sepenuhnya menguasai pola budaya itu (yang sering dikatakan sebagai pola budaya "modern"), sehingga kurang memiliki kemampuan dalarn mengimbangi dan menguasai kehidupan dunia global. Bahkan, untuk rnemberikan responsi saja sudah mengalami kesulitan.

Kesenjangan waktu atau time lag memang mengandung konotasi ada yang berposisi ketinggalar, konservatif, ataupun, kolot. Tetapi membentuk konotasi keagamaan sebagai kekolotan sudah tentu tidak benar. Dalam hal Universitas Harvard tadi misalnya, relevansinya dengan perkembangan zaman, bahkan kepemimpinan, tidaklah diperoleh dengan meninggalkan samasekali jiwa "kepesantrenannya”, (dalam arti: fungsi pokok atau historis sebagai tempat pendidikan keagamaan). Di sana masih terdapat bagian-bagian yang mengajarkan teologis, disamping monumen-monumen keagamaan yang banyak terdapat dalam lingkungan kampusnya seperti gereja-gereja, chapel-chapel, dan koleksi barang-barang keagamaan. Bahkan dalam bidang teologia itu Harvard tetap meneruskan peranan historisnya sebagai penganut madzhab unitarianisme.

Penyajian fenomena di atas menunjukkan bahwa untuk memainkan peranan besar dan menentukan dalam ruang lingkup nasional, pesantren-pesantren kita tidak perlu kehilangan kepribadiannya sendiri sebagai tempat pendidikan keagamaan. Bahkan tradisi-tradisi keagamaan yang dimiliki pesantren-pesantren itu sebenarnya merupakan ciri khusus yang harus dipertahankan, karena di sinilah letak kelebihannya.

Tetapi, kita menemui keadaan yang hampir tidak menopang proyeksi itu. Jika tidak karena harapan-harapan yang idealistik dilandasi oleh hubungan sentimentil seorang Muslim Indonesia dengan dunia pesantren, hampir-hampir kita mengatakan bahwa pesantren, justru karena keasliannya, merupakan “fosil" masa lampau yang cukup jauh untuk bisa memainkan peranannya sebagaimana kita harapkan.

Jika diadakan suatu "moment opname” atau pemotretan sesaat, maka akan tampak gambaran tentang pesantren yang kurang kondusif bagi peranan-peranan besar tadi. Tidak perlu mengadakan tinjauan pada keadaan fisiknya, sebab dalam analisa terakhir penempatan segi fisik ini jatuh dalam urutan kedua dalam skala prioritas. Yang perlu kita tinjau adalah segi non-fisiknya. Sebab titik tolak perubahan, perkembangan, pertumbuhan, dan kemajuan adalah segi non-fisik yang berupa sikap jiwa keseluruhan.

Kekurangan pertama adalah terletak pada lemahnya visi dan tujuan yang dibawa pendidikan pesantren. Agaknya tidak banyak pesantren yang mampu secara sadar merumuskan tujuan pendidikannya dan menuangkannya dalam tahapan-tahapan rencana kerja atau program. Mungkin kebutuhan pada kemampuan itu relatif terlalu baru. Tidak adanya perumusan tujuan itu disebabkan adanya kecenderungan visi dan tujuan pesantren diserahkan pada proses improvisasi yang dipilih sendiri oleh seorang kiai atau bersama-sama para pembantunya secara intuitif yang disesuaikan dengan perkembangan pesantrennya. Malahan pada dasarnya memang pesantren itu sendiri dalam semangatnya adalah pancaran kepribadian pendirinya. Maka tidak heran kalau timbul anggapan bahwa hampir semua pesantren itu merupakan hasi1 usaha pribadi atau individual (individual enterprise).

Adanya pengaruh semangat pribadi para pendirinya terhadap pesantren itu memang tidak bisa dihindarkan dan ini bukanlah kesalahan mereka. Para pendiri itu tidak an sich salah, kalau saja hambatan bagi perkembangan pesantren tidak tlmbul dari dominasi pengaruh ini. Sebab, seorang prlbadi tentulah tidak lebih daripada kapasitas-kapasitas fisik maupun mentalnya. Ia memiliki kemampuan-kemampuan yang terbatas. Umpamanya saja, dari segi non-fisik, pribadi tersebut mengetahui beberapa hal, tetapi bisa dipastikan lebih banyak Iagi hal lain yang belum diketahuinya. Keterbatasan akan pengetahuan itu tentu akan tercermin pula dalam keterbatasan kemampuan mengadakan responsi pada perkembangan-perkembangan masyarakat.

Dalam pepatah Arab disebutkan bahwa "al-insan-u 'aduw-un ma jahiluhu (manusia menjadi musuh dari apa yang tidak diketahuinya)." Berkaitan dengan ini banyak sekali kasus yang dapat dijadikan contoh: seorang kiai yang kebetulan tidak dapat membaca-menulis huruf latin mempunyai kecenderungan lebih besar untuk menolak atau menghambat dimasukkannya pengetahuan baca-tulis latin ke dalam kurikulum pelajaran pesantrennya. Itu adalah kasus kecil dan sederhana, sehingga mudah terlihat. Kasus lain yang lebih kompleks seorang tokoh pesantren yang tidak mampu lagi mengikuti dan menguasai perkembangan zaman mutakhir tentu cenderung untuk menolak mengubah pesantrennya mengikuti zaman tersebut meskipun dengan begitu pesantrennya akan menjadi lebih berjasa kepada masyarakat.

Kurangnya kemampuan pesantren dalam meresponi dan mengimbangi perkembangan zaman tersebut, ditdengan faktor lain yang sangat beragam, membuat produk-produk pesantren dianggap kurang siap untuk "lebur" dan mewarnai kehidupan modern. Tidaklah mengherankan apabila muncul gambaran diri seorang santri itu, dibanding dengan tuntutan-tuntutan kehidupan nyata pada zaman sekarang, adalah gambaran diri seorang dengan kemampuan-kemampuan terbatas. Sedemikian terbatasnya kemampuan itu sehingga peranan-peranan yang mungkin dilakukan ibarat hanya bersifat tambahan yang kurang berarti pada pinggiran-pinggiran keseluruhan sistem masyarakat saja, dan kurang menyentuh, apalagi mempengaruhi nukleus dan inti-poros perkembangan masyarakat itu. (Harap ingat perbandingan dengan peranan lulusan "pesantren" Harvard di atas). Meskipun gambaran diri itu tetap memiliki warna keagamaan —biasanya memperoleh gelar sebagai kiai, alim, ustadz atau sekedar santri— namun diukur dari keharusan-keharusan keagamaan itu sendiri masih menunjukkan kekurangan-kekurangan.

Pada umumnya pembagian keahlian para lulusan atau produk pendidikan pesantren berkisar pada bidang-bidang berikut:

A. Nakwu-Sharaf:

Kalau dalam bahasa kita istilah nahwu-sharaf ini mungkin bisa diartikan sebagai gramatika bahasa Arab. Bannyak orang berhasil memperoleh status sosial-keagamaan —jadi berhak atas titel kiai, ustadz, atau yang lainnya—hanya karena dianggap ahli dalam gramatika bahasa Arab ini. Bentuk konkrit keahlian itu biasanya sangat sederhana, yaitu kemampuan mengaji atau mengajarkan kitab-kitab nahwu-sharaf tertentu, seperti Ajurumiyah, ‘Imrithi, Alfiyah, atau—tingkat tingginya—kitab Ibnu ‘Aqil. Knotasi keagamaan dalam keahlian di bidang ini semata-mata karena bahasa objek studinya adalah bahasa Arab. Status sosial keagamaan yang mereka dapatkan itu tidak akan hilang meskipun yang bersangkutan sendiri mungkin tidak menggunakan "ilmu alat"-nya ini untuk secara sungguh-sungguh mempelajari ilmu agama, sebagaimana yang menjadi tujuannya semula.

B. Fiqh

Para ulama fiqh sendiri mendefinisikannya sebagai sekumpulan hukum amaliah (sifatnya akan diamalkan) yang disyaratkan dalam Islam. Pengetahuan tentang hukum-hukum (agama, atau syari'at) memang untuk jangka waktu yang lama sekali memegang dominasi dunia pemikiran atau intelektual Islam. Perkembangan agama Islam terjadi sedemikian rupa sehingga terdapat keharusan adanya pembakuan sistem hukum untuk mengatur masyarakat. Pembakuan itu sendiri terjadi pada sekitar abad kedua Hijriah. Karena hubungannya yang erat dengan kekuasaan, rmaka pengetahuan tentang hukum-hukum agama merupakan tangga naik yang paling langsung menuju pada status sosial politik yang lebih tinggi. Sehingga meningkatlah arus orang yang berminat mendalami keahlian dalam bidang hukum ini, dan terjadilah dominasi fiqh tersebut. Jadi tidaklah aneh bahwa keahlian dalam fiqh merupakan konotasi terkuat bagi kepemimpinan keagamaan Islam. Tetapi, demi pembahasan patutlah di sini dipertanyakan apakah keahlian dalam fiqh seluruhnya relevan dengan keadaan sekarang?

C. 'Aqa’id

Bentuk plural dari 'aqidah yang padanannya dalam bahasa kita adalah keyakinan. 'Aqa'id ini meliputi segala hal yang bertalian dengan kepercayaan dan keyakinan seorang Muslim. Meskipun bidang pokok-pokok kepercayaan atau 'aqa'id ini disebut ushuluddin (pokok-pokok agama) sedangkan fiqh disebut soal furu' (cabang-cabang), tetapi kenyataannya perhatian pada bidang pokok ini kalah besar dan kalah antusias dibanding dengan perhatian pada bidang fiqh yang hanya merupakan cabang (furu’) itu. Agaknya ini disebabkan oleh kecilnya akses yang dimiliki bidang 'aqa’id pada struktur kekuasaan (sosial politik) bila dibandingkan dengan akses yang dimiliki bidang fiqh. Selain itu, bidang 'aqa’id yang juga disebut ilmu kalam ini memang membuka pintu bagi pemikiran filsafat yang kadang sangat spekulatif. Sebagai akibatnya, keahlian di bidang ini tampak kurang mendalam. Dan untuk dapat dikatakan ahli dalam bidang 'aqa'id ini cukuplah dengan menguasai kitab-kitab sederhana seperti Aqidat-u al-'Awam, Bad'u al-Amal, Sanusiyah, dan kitab-kitab yang tidak begitu "sophisticated” lainnya.

D. Tasawuf

Sampai saat ini belum ada definisi tentang tasawuf yang secara lengkap bisa menjelaskannya. Dan jangan banyak berharap bahwa orang yang terjun dalam dunia tasawuf sendiri dapat menjelaskan secara gamblang tentang dunianya itu. Malah mungkin perkataan tasawuf sendiri asing baginya. Dia hanya mengetahui tentang tarekat, suluk, dan wirid. Mungkin ditambah dengan sedikit dongeng tentang tokoh-tokoh legendaris tertentu, seperti Syeikh 'Abdul Qadir Jaylani. Kadang ini diikuti sikap hormat yang berlebihan kepada tokoh-tokoh mereka sendiri, baik yang telah meninggal maupun yang masih hidup. Hal ini sebenarnya menunjukkan kedangkalan pemahaman mereka terhadap tasawuf itu sendiri. Untuk mendapatkan status sosial-religius yang terpandang dalam bidang tasawuf ini, seseorang itu cukup sekedar mampu memimpin suatu gerakan tarekat dengan menjalankan wirid pada hari-hari dan saat-saat tertentu, baik secara mandiri maupun sebagai "khalifah" atau "badal" dari seorang tokoh lain yang lebih besar. Sesungguhnya bidang tasawuf atau sufi adalah bidang yang sangat mendalam, dan berkaitan dengan rasa atau semangat keagamaan itu sendiri. Dan sebenarnya bidang ini adalah yang paling menarik dalam struktur kehidupan beragama. Tetapi pesantren-pesantren tidak ada yang secara sungguh-sungguh menggarapnya. Padahal tasawuf ini merupakan bidang yang sangat potensial untuk memupuk rasa keagamaan para santri, dan menuntun mereka memiliki budi pekerti mulia.

E. Tafsir

Salah satu bidang keahlian yang jarang dihasilkan pesantren adalah bidang tafsir al-Qur'an. Padahal bidang inilah yang paling luas daya cakupnya, sesuai dengan daya cakup Kitab Suci yang mampu menjelaskan totalitas ajaran agama Islam. Kalau kita perhatikan, pemikiran-pemikiran fundamental yang muncul dalam dunia Islam biasanya dikemukakan melalui penafsiran-penafsiran al-Qur'an. Lemahnya pengetahuan di bidang ini akan membuka kemungkinan munculnya penyelewengan-penyelewengan dalam menafsirkan al-Qur'an. Sehingga bisa dibayangkan betapa strategisnya keahlian di bidang ini untuk mengantisipasinya. Sayang sekali pesantren-pesantren "kurang berminat" dalam menggarap bidang ini, terlihat dari miskinnya ragam kitab tafsir yang dimiliki perpustakaannya. Kitab tafsir yang dikaji pun biasanya tidak jauh dari kitab Tafsir Jalalayn.

F. Hadits

Kalau di bidang tafsir tidak banyak produk pesantren kita yang "mumpuni”, terlebih lagi di bidang Hadits ini. Apalagi jika diukur dari segi penguasaan segi riwayah dan dirayah. Padahal kalau diingat bahwa kedudukan Hadits sebagai sumber hukum agama (Islam) kedua setelah al-Qur'an, keahllan di bidang ini tentunya sangat diperlukan untuk pengembangan pengetabuan agama itu sendiri.

G. Bahasa Arab

Berbeda dengan bidang tafsir dan Hadits, di bidang bahasa Arab ini kita bisa melihat fenomena yang cukup menggembirakan. Pesantren-pesantren kita telah mampu memproduksi orang-orang yang memiliki keahlian lumayan dalam bahasa Arab. Keahlian di bidang ini harus dibedakan dengan keahlian dalam nahwu-sharaf di atas. Sebab, titikberatnya adalah pada penguasaan "materi" bahasa itu sendiri baik pasif maupun aktif. Kebanyakan mereka kurang mengenal lagi kitab-kitab nahwu-sharaf seperti yang biasa dikenal di pondok-pondok. Tetapi mereka mengenal buku-buku bahasa Arab dan sastranya yang terbit rata-rata pada awal abad kedua puluh ini, yang sebagian besar merupakan karya pujangga-pujangga Mesir. Memang pada awal abad kedua puluh litu dunia Arab, terutama Mesir, banyak menghasilkan buku bahasa maupun sastra Arab. Ini tidak bisa dilepaskan dari adanya pengaruh—langsung maupun tidak langsung—renaisance Arab di Mesir-Syria akhir abad ke-19, yang muncul setelah adanya kontak-kontak antara dunia Arab dengan dunia Barat, kbususnya melalui "jembatan" penjajahan Perancis dan kemudian Inggris. Karena kaitannya yang cukup erat dengan renaisance itu, maka gejala baru dunia pesantren ini sedikit banyak mengandung "modernity complex", perasaan atau sekedar keinginan untuk disebut modern. Maka dari itu relatif bersikap terbuka kepada ilmu-pengetahuan modern. Dan ini teruditerapkan oleh pesantren-pesantren yang sudah modern. Sebagai indikatornya adalah masuknya pelajaran bahasa Inggris di pesantren-pesantren tersebut.

Memang banyak segi manfaat dari produk pesantren yang modern ini, dan mungkin mereka lebih unggul dibanding dengan produk pesantren lainnya. Bahkan jelas telah terbukti —sekalipun tidak dalam konteks sejarah yang cukup panjang— bahwa pesantren semacam ini adalah yang paling memenuhi selera kaum Muslim dalam memasuki era modernisasi pada saat itu, yaitu selera untuk dapat disebut sebagai orang modern tetapi tidak kehilangan identitas kemuslimannya. Karena itu orientasi kulturalnya menjadi lebih sederhana. Ini terlihat pada penggabungan pengetahuan bahasa Arab dan bahasa Inggris yang melambangkan perpaduan antara unsur keislaman dan unsur kemodernan. Namun tetap harus diakui bahwa status sosial pemimpin-pemimpin Islam berlatar belakang pendidikan agama masih di bawah pemimpin-pemimpin Islam yang latar belakangnya pendidikan umum. Yang terakhir ini lebih dihormati dan status sosialnya lebih tinggi dibanding dengan yang pertama, sekalipun mereka yang dari pendidikan agama sudah mulai "dicampur" dengan unsur-unsur modern. Dalam hal ini ingat saja kelompok para pemimpin besar anggota-anggota Studenten Islam Studie Club-nya Pak Roem dan kawan-kawan. Sebab, dalam "ujian" kemampuan mengadakan responsi pada masalahmasalah perkembangan sosial yang semakin kompleks itu ternyata orang-orang berpendidikan umum tetap lebih unggul dan "leading" daripada mereka yang berpendidikan agama, biarpun "semodern" lulusan Dar-u al-Ulum di Kairo!

Bagi orang-orang yang berpendidikan umum ini, untuk dapat menduduki status sosial tertinggi dalam hirarki atau piramida masyarakat Islam cukup dengan hanya menunjukkan kesungguhan dalam komitmen religiusnya. Tentunya, ini juga harus diikuti dengan sikap bersahabat terhadap mereka yang berlatarkan pendidikan agama. Sebab, dan ini yang harus kita sadari, sampai saat ini dunia masih didominasi oleh pola-pola aturan konsep modern (Barat). Dan pola-pola tersebut lebih banyak disampaikan melalui pendidikan umum daripada melalui pendidikan agama. Sekalipun tidak bisa kita pungkiri legitimasi kepemimpinan ada dalam ukuran-ukuran agama.

H. Fundamentalisme

Ada lagi hasil pendidikan pesantren yang perlu dibicarakan di sini, yaitu —untuk mudahnya namakan saja— fundamentalisme. Yang dimaksud di sini adalah mereka yang dilatih begitu rupa oleh pesantrennya sehingga memiliki semangat fundamentalistik yang tinggi sekali. Curahan perhatian biasanya diutamakan pada bidang fiqh, tetapi tentu dengan cara dan orientasi yang berbeda dengan model "fiqh" tersebut di atas. Jenis ini biasanya dapat berfungsi hanya dalam lingkungan yang sangat terbatas saja, mengingat kadar fundamentalisme dan puritanisme mereka yang sering melahirkan sikap-sikap kaku.

Selain jenis-jenis produk pesantren di atas sudah tentu masih terdapat jenis-jenis lain yang tak perlu diketengahkan secara khusus di sini, seperti jenis keahlian dalam ilmu falak, kanuragaan, qira’at, dan "ilmu hikmah".

II. Refleksi dan Kemungkinan

Merenungkan bidang-bidang keahlian pendidikan pesantren tersebut —termasuk merenungkan tujuan pendidikannya sekalipun tldak terumuskan— akan menginsafkan kita bahwa tidak mungkin membuat sikap yang serba absolut, baik membenarkan maupun menyalahkan adanya pengkhususan pada bidang-bidang itu. Kesemuanya ada dalam daerah tinjauan yang serba relatif. Secara positif mungkin saja suatu jenis pengkLususan akan merupaka

kelebihan suatu pesantren terhadap pesantren lainnya. Tetapi dengan sendirinya itu berarti menuntut kesungguhan dalam penggarapan dan pengerjaannya. Artinya, suatu kekhususan bidang keahlian tidak akan merupakan ciri kelebihan suatu pesantren yang patut dihargai jika tidak digarap secara serius atau hanya menurut apa adanya saja. Tentunya keseriusan peggarapan ini harus diikuti dengan kejelasan program, penggunaan metode yang komprehensif, kecakapan pelaksana, dan kelengkapan sarananya.

Tetapi dari segi lain, pengkhususan bidang-bidang tersebut hanyalah bersifat sektoral. Ia baru memiliki arti jika merupakan bidang-bidang tak khusus atau spesialisasi yang mendalam. Karena itu tidak mungkin diterapkan untuk setiap orang. Tidak setiap orang memiliki kemampuan atau merasa tertarik pada spesialisasi ini. Tentunya mereka memerlukan sesuatu yang lebih universal (tidak sektoral sifatnya) dari agamanya. Sesuatu itu dapat diraba bentuk nyatanya melalui sebuah pertanyaan: apakah sebenarnya tugas, risalah, "mission" dan fungsi dari agama itu sendiri untuk hidup ini? Siapakah sebenarnya, atau bagaimana sesungguhnya bentuk kepribadian seorang "agamawan", "rajul-un dîniy-un itu? Di manakah sesungguhnya letak utama manifestasi atau pancaran keagamaan itu? Bahkan dapat ditambahkan, apakah sebenarnya pengetahuan agama yang lebih fungsional dalam kehidupan ini dan secara asasi mempengaruhinya?

Mungkin saja seseorang sudah cukup sebagai agamawan karena telah dengan taat menjalankan norma-norma hukum agama sebagaimana terdapat dalam fiqh, atau memegang teguh kaidah-kaidah kepercayaan sebagaimana diajarkan oleh ilmu 'aqa'id, atau dengan khusyu' dan rajin menjalankan ibadah sunah serta wirid-wirid sebagaimana anjuran tasawuf atau tarekat. Tetapi jelas bukanlah termasuk dalam kategori agamawan jika seorang itu hanya ahli—biarpun mendalam—dalam bahasa Arab, apalagi nahwu-sharaf saja. Sebetulnya keberadaan ilmu-ilmu "alat" ini memang untuk mempelajari agama itu sendiri. Hanya saja patut disayangkan banyak orang yang seperti diibaratkan pepatah "tenggelam dalam syarat lupa pada tujuan", karena banyak menghabiskan tenaga, harta, dan umur hanya untuk memperdalam ilmu-ilmu alat itu saja, tanpa sampai pada pengetahuan agama itu sendiri.

Pada bagian yang mendasar sekali, segi agama yang universal dan diperlukan oleh setiap pribadi itu adalah ajaran-jaran agama yang menjadi "grounds for meaning" (istilah seorang sosiolog), atau “asas-asas makna hidup". Dengan kata lain, ajaran-ajaran agama yang menjadi sumber pokok pancaran nilai-nilai kehidupan disebut universal karena selain merupakan keperluan setiap individu, juga kapasitas fungsionalnya sebagai sumber nilai tidak terkena oleh batasan-batasan ruang dan waktu. Bagian dari ajaran-ajaran agama yang bersifat asasi itu membentuk apa yang dinamakan dalam bahasa pengetabuan sosial sebagai "weltanschauung".

Weltanschauung Islam itu membicarakan tiga masalah pokok, yaitu Tuhan, manusia, dan alam (setelah dikotomi mutlak antara Tuhan/Khaliq dengan makhluk), termasuk bentuk-bentuk hubungan antara masing-masing ketiga unsur itu. Dalam tiga kategori pembahasan filsafati itu telah tercakup persoalan-persoalan penting seperti alam-gaib, eskatologi (doktrin tentang saat-saat terakhir kehidupan dan wujud seluruhnya), tentang Nabi dan Rasul, dan lain-lainnya.

Pembahasan di atas tidak bisa lepas dari perspektif-perspektit yang lebih bersifat asasi. Dalam pembahasan hubungan antarmanusia umpamanya, yang dimaksud bukanlah sekedar materi-materi pembicaraan tentang "mu'amalah (ma'a 'l-khalqi)" dalam fiqh, melainkan lebih pada ajaran-ajaran yang memberikan pendekatan falsafi tentang siapa itu manusia dan bagaimana seharusnya hak dan kewajiban kemanusiaan dalam hubungan antarsesamanya. Maka pembahasannya akan lebih banyak berkisar pada doktrin tentang kesamaan kemanusiaan (egalitarianisme), hak-hak asasi, dan keadilan sosial. Dari sudut pandangan itu materi-materi yang menjadi pembahasan dalam bab "mu'amalah" merupakan salah satu bentuk aspek pelaksanaan ajaran-ajaran asasi, dan sifatnya lebih praktis, sehingga sangat mungkin akan terpengaruh kondisi yang ada. Tentang ketuhanan misalnya, mungkin saja kita masih memerlukan pemahaman melalui pendekatan sifat-sifatnya, seperti yang diajarkan dalam metode Matûridy-Asy'âry. Tetapi jelas kita memerlukan keinsyafan ketuhanan yang lebih fungsional dalam ruhani kita. Umpamanya keinsyafan bahwa Tuhan mutlak memiliki sifat pengasih, penyayang, pengampun, penyantun kepada umat manusia, "omnipresent" (senantiasa hadir mutlak), dan keseluruhan sifat Tuhan dalam al-asma'-u 'l-husna. Penting juga diinsyafi tentang sifat kemutlakan Tuhan yang tak terjangkau kemampuan manusia, namun manusia dapat berproses mendekatinya dengan taqarrub. Sedangkan dalarn hubungan antara manusia dengan Tuhan kita juga tidak hanya mempelajari persoalan-persoalan ubudiyah saja. Tetapi membahas dan menanamban keinsyafan yang mendalam tentang makna nilai-nilai keagamaan seperti taqwa, taqarrub, tawakkal, ikhlas, dan seterusnya. Dari penglihatan ini, ibadat dalam arti ritus merupakan sarana edukatif bagi terbentuknya kualitas-kualitas tersebut dalam jiwa manusia.

Tumbuhnya kesadaran pada manusia tentang apa alam ini dan bagaimana bentuk hubungan ideal antara manusia dengan alam sangat relevan dengan pola kehidupan sekarang. Pembahasan ini banyak sekali "bahannya" dalam kitab suci al-Qur'an, dan tentu akan menghasilkan suatu sistem doktrin yang sebanding —bukan berarti sama, malah mungkin bertentangan— dengan doktrin-doktrin lain, seperti doktrin-doktrin Karl Marx. Sebagaimana kita ketahui Marxisme mengandung antara lain materialisme filsafat dan materialisme sejarah. Demikian juga, al-Qur'an banyak memberi keterangan yang sangat fundamental tentang lingkungan hidup manusia, baik alam benda maupun alam sosial, yang kesemuanya berada dalam kepastian aturan Allah melalui sunnah-Nya. Sehingga kalau kita menginsyafinya akan tumbuh dalam diri kita kesadaran untuk memelihara lingkungan hidup disertai dengan kesadaran historis dan sikap-sikap yang tepat.

III. Kesimpulan dan Pelaksanaan

Gagasan-gagasan yang dikemukakan di atas bersifat sangat tentatif. Seandainya deskripsi, analisa, dan tinjauan tadi benar, maka ada dua kesimpulan pokok yang bisa kita tarik, yaitu:

Pertama, pesantren berhak, malah lebih baik dan lebih berguna, mempertahankan fungsi pokoknya semula, yaitu sebagai tempat menyelenggarakan pendidikan agama. Tetapi mungkin diperlukan suatu tinjauan kembali sedemikian rupa sehingga ajaran-ajaran agama yang diberikan kepada setiap pribadi merupakan jawaban yang komprehensif atas persoalan makna hidup dan weltanschauung Islam, selain tentu saja disertai dengan pengetahuan secukupnya tentang kewajiban-kewajiban praktis seorang Muslim sehari-hari. Pelajaran-pelajaran ini kemungkinan dapat diberikan melalui beberapa cara. di antaranya:

a. Mempelajari al-Qur'an dengan cara yang lebih sungguh-sungguh daripada yang umumnya dilakukan orang sekarang, yaitu dengan menitik beratkan pada pemahaman makna dan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Ini memerlukan kemampuan pengajaran yang lebih besar. Yaitu pengajaran kesatuan-kesatuan pengertian tentang ayat-ayat atau surat-surat yang dibacanya dengan menghubungkannya dengan ayat-ayat. atau surat-surat lain (yang belum terbaca pada saat itu). Pelajaran ini mungkin mirip dengan pelajaran tafsir, tetapi dapat diberikan tanpa sebuah buku atau kitab tafsir melainkan cukup dengan al-Qur'an secara langsung.

b. Melalui pertolongan sebuah bahan bacaan atau buku pegangan. Penggunaan cara ini sangat tergantung pada kemampuan para pengajar dalam mengembangkannya secara lebih luas.

Selain itu baik sekali memanfaatkan mata-pelajaran lain untuk "disisipi" pandangan-pandangan keagamnan tadi. Dan menanamban kesadaran dan penghargaan yang lebih wajar pada hasil-hasil seni-budaya Islam atau senibudaya umumnya. Hal ini penting sekali untuk menumbuhkan kepekaan rohani, termasuk kepekaan rasa ketuhanan yang menjadi inti rasa keagamaan.

Selain dari segi yang lebih universal ini, pesantren dapat mengadakan pendalaman-pendalaman pada segi lainnya dalam suatu tingkat yang lebih lanjut dan bersifat "takhassus". Suatu catatan berkaitan dengan hal tersebut adalah keharusan mengadakan pengaturan kembali alokasi waktu dan tenaga pengajaran sehingga terjadi penghematan dan intensifikasi bagi pelajaran-pelajaran lainnya.

Kedua, pesantren harus tanggap dengan tuntutan-tuntutan hidup anak didiknya kelak dalam kaitannya dengan perkembangan zaman. Di sini pesantren dituntut dapat membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan nyata yang didapat melalui pendidikan atau pengajaran pengetahuan umum secara memadai. Di bagian ini pun, sebagaimana layaknya yang terjadi sekarang, harus tejurusan-jurusan alternatif bagi anak didik sesuai dengan potensi dan bakat mereka.

Jadi tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran Islam merupakan weltanschauung yang bersifat menyeluruh. Selain itu produk pesantren ini diharapkan memiliki kemampuan tinggi untuk mengadakan responsi terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada (Indonesia dan dunia abad sekarang).

DAFTAR ALUMNI SUBANG PONDOK PESANTREN MAMBA'UL ULUM




DAFTAR ALUMNI
PONDOK PESANTREN MAMBA’ULULUM
LEMAH AYU KERTASEMAYA INDRAMAYU





SEKRETARIAT :
PONDOKPESANTREN MAMBA’ULULUM
JL. Gang talen mundu desa lemah ayu kertasemaya indramayu


FORUM SILATURAHMI ALUMNIN KONSULAT SUBANG
PONDOK PESANTREN MAMBA’UL ULUM
LEMAH AYU KERTASEMAYA INDRAMAYU
Jawa barat
Data alumni


no
Nama alumni
l/p
Alamat
telpon
hp
1
Aang ali said
L
Kampung baru pamanukan subang
(0260)550520

2
Abdul bashir
L
Kampung baru pamanukan subang


3
Agung parmana
L

Pilang pamanukan subang


4
Agus nurdin
L
Kampung baru pamanukan subang
(0260)554224

5
Aning surya ningrat
L
Kampung pintu pamanukan subang


6
farhatul
P
Kampung baru pamanukan subang


7
Imam bukhori
L
Kampung baru pamanukan subang


8
Iwan hamdani
L
Kampung baru pamanukan subang


9
Kokom komaria
P
 Kampung baru pamanuka subang


10
Lukman hakim
L
Padek pamanukan subang

(0260)554142

11
Moch. Sholeh s.pd.i
L
Kampung baru pamanukan subang


12
Muslima
P
Kampung baru pamanukan subang


13
Nayep jamzami
L
Kampung baru pamanukan subang


14
Nofal
L
Kampung baru pamanukan subang


15
Oop nursyaba
L
Kampung baru pamanukan subang


16
sofyan
L
Kampung baru pamanukan subang


17
Ust.ahmad fauzi
L
Kampung baru pamanukan subang


18
Ustdz.amana
P
Kampung baru pamanukan subang


19
Ustdz.jamiah
P
 Kampug baru pamanukan subang


20
Ust.ukrana/ust.maulana
L
Padek pamanukan subang

(0260)554551

21
Uts. Yahya D.
L
Kampung baru pamanukansubang


22
Uts.rohemu
L
Padek pamanukan subang


081321726363
23
Abdul.ghofur
L
   Mariuk  Binong subang


24
Ade manshur
L
  Mariuk  Binong subang


25
                      hojin
L
  Mariuk  Binong subang


26
Iso sodikin
L
  Mariuk  Binong subang


27
Lia hasan
P
  Mariuk  Binong subang


28
Narjali
L
  Mariuk  Binong subang


29
Sukanda
L
  Mariuk  Binong subang


30
Ust. faisal
L
  Mariuk  Binong subang


31
Ust.hasanudin
L
  Mariuk  Binong subang

081321822393
32
Ust.mashuri
L
  Mariuk  Binong subang


33
Ust. syarifudin
L
  Mariuk  Binong subang


34
Ust. tandi
L
  Mariuk  Binong subang


35
Yeyet m./umi kultsum
P
  Mariuk  Binong subang
(0260)552764

36
Tohari,ab,s,ag
L
pp. mifftahul huda jl.rancasari dalam no.b 33 pamanukan subang


37
Abdul kholik
L
Gardu mukti kec. Binong subang


38
Dhalan
L
Gardu mukti kec. Binong subang


39
Fatimah
P
Gardu mukti kec. Binong subang


40
Hidayat
P
Gardu mukti kec. Binong subang


41
Ooy
L
Gardu mukti kec. Binong subang


42
Susana
P
Gardu mukti kec. Binong subang


43
aceng / katma
L
Sengon mariuk kec. Binong subang


44
nahrudin
L
Sengon mariuk kec. Binong subang


45
nawawi
L
Sengon mariuk kec. Binong subang


46
nurdin
L
Sengon mariuk kec. Binong subang


47
odih permana
L
Sengon mariuk kec. Binong subang


48
pepen efendi
L
Sengon mariuk kec. Binong subang


49
syarif
L
Sengon mariuk kec. Binong subang


50
taswan
L
Sengon mariuk kec. Binong subang


51
ust. Hasyim
L
Sengon mariuk kec. Binong subang


52
ust. Ismail
L
Sengon mariuk kec. Binong subang


53
ust. Johari
L
Sengon mariuk kec. Binong subang


54
ust.wahidin
L
Sengon mariuk kec. Binong subang


55
wirta
L
Sengon mariuk kec. Binong subang


56
aceng jaelani
L
Sukareja kec. Pamanukan subang


57
adewijaya
L
Sukareja kec. Pamanukan subang


58
alfiah
P
Sukareja kec. Pamanukan subang


59
aliya
P
Sukareja kec. Pamanukan subang


60
asnawi
L
Sukareja kec. Pamanukan subang


61
atin
P
Sukareja kec. Pamanukan subang


62
ayu asnawati
P
Sukareja kec. Pamanukan subang


63
cecep
L
Sukareja kec. Pamanukan subang


64
dasto
L
Sukareja kec. Pamanukan L subang


65
dado
L
Sukareja kec. Pamanukan subang


66
dede rohayati
P
Sukareja kec. Pamanukan subang


67
dedeh
P
Sukareja kec. Pamanukan subang


68
desti lestari
P
Sukareja kec. Pamanukan subang


69
jaeni
L
Sukareja kec. Pamanukan subang


70
jumli
L
Sukareja kec. Pamanukan subang


71
jumsah
L
Sukareja kec. Pamanukan subang


72
kokom komaria
P
Sukareja kec. Pamanukan subang


73
komarudin
L
Sukareja kec. Pamanukan subang


74
lilis
P
Sukareja kec. Pamanukan subang


75
musdalifah
P
Sukareja kec. Pamanukan subang


76
muslihah
P
Sukareja kec. Pamanukan subang


77
nana wiyatna
L
Sukareja kec. Pamanukan subang


78
nawi surnawi
L
Sukareja kec. Pamanukan subang


79
quratul aeni
P
Sukareja kec. Pamanukan subang


80
ramli
L
Sukareja kec. Pamanukan subang


81
ratna
P
Sukareja kec. Pamanukan subang


82
soleha
P
Sukareja kec. Pamanukan subang


83
suminta
L
Sukareja kec. Pamanukan subang


84
taskim
L
Sukareja kec. Pamanukan subang


85
tosin
L
Sukareja kec. Pamanukan subang


86
tuti
P
Sukareja kec. Pamanukan subang


87
upi
P
Sukareja kec. Pamanukan subang


88
ust. Durajat
L
Sukareja kec. Pamanukan subang


89
ust. Rohana
L
Sukareja kec. Pamanukan subang


90
wawan
L
Sukareja kec. Pamanukan subang


91
wenda
L
Sukareja kec. Pamanukan subang


92
yuyun
P
Sukareja kec. Pamanukan subang


93
asep saefullah
L
 Aggararu-legon kulon- subang


94
casim
L
Aggararu-legon kulon- subang


95
deden
L
Aggararu-legon kulon- subang


96
dede lukman h.
L
Aggararu-legon kulon- subang


97
dedi
L
Aggararu-legon kulon- subang


98
ghojali
L
Aggararu-legon kulon- subang


99
hindun
L
Aggararu-legon kulon- subang


100
juki
L
Aggararu-legon kulon- subang


101
karna
L
Aggararu-legon kulon- subang


102
luqman
L
Aggararu-legon kulon- subang


103
ma’mur
L
Aggararu-legon kulon- subang


104
maskanah
P
Aggararu-legon kulon- subang


105
nurdin
L
Aggararu-legon kulon- subang


106
raspin
L
Aggararu-legon kulon- subang


107
satori
L
Aggararu-legon kulon- subang


108
sholeh
L
Aggararu-legon kulon- subang


109
siti aisyah
P
Aggararu-legon kulon- subang


110
tatang
L
Aggararu-legon kulon- subang


111
tri/kusnadi
L
Aggararu-legon kulon- subang


112
ust. Fathurohman
L
Aggararu-legon kulon- subang


113
ust. Karsim
L
Aggararu-legon kulon- subang


114
ust. Masykur
L
Aggararu-legon kulon- subang


115
yusuf
L
Aggararu-legon kulon- subang


116
apud
L
              Ciasem subang


117
joni
L
Ciasem subang


118
ust. Masrur
L
Ciasem subang


129
nurohman
L
Ciasem subang


120
rasman
L
Ciasem subang


121
satori
L
Ciasem subang


122
tarmin
L
Ciasem subang


123
ust. Samiun
L
Tanjung cipunagara subang


124
abdul aziz
L
kiara payung cipunegara subang


125
ade
L
kiara payung cipunegara subang


126
Fatima     
P
kiara payung cipunegara subang


127
jaenal
L
kiara payung cipunegara subang


128
khoeriya
P
kiara payung cipunegara subang


129
komarudin
L
kiara payung cipunegara subang


130
rohiya
P
kiara payung cipunegara subang


131
siti latifah
P
kiara payung cipunegara subang


132
sumarto
L
kiara payung cipunegara subang


133
abdul hafiz
L
jungkelang kec. Binong subang


134
abdur rahman
L
jungkelang kec. Binong subang


135
adum
L
jungkelang kec. Binong subang


136
afifah
P
jungkelang kec. Binong subang


137
arofah
P
jungkelang kec. Binong subang


138
asep saefudin
L
jungkelang kec. Binong subang


139
faidudin
L
jungkelang kec. Binong subang


140
halimin
L
jungkelang kec. Binong subang


141
ilyas
L
jungkelang kec. Binong subang


142
lala nurlaela
P
jungkelang kec. Binong subang


143
mahrus
L
jungkelang kec. Binong subang


144
maksudi
L
jungkelang kec. Binong subang


145
marjuk
L
jungkelang kec. Binong subang


146
muhit
L
jungkelang kec. Binong subang


147
nurhamidah
P
jungkelang kec. Binong subang


148
samin saefudin
L
jungkelang kec. Binong subang


149
syamsulanwar
L
jungkelang kec. Binong subang


150
syarifudin
L
jungkelang kec. Binong subang


151
tarmuji
L
jungkelang kec. Binong subang


152
tuti
P
jungkelang kec. Binong subang


153
ust. Akrom
L
jungkelang kec. Binong subang


154
ust. Edi
L
jungkelang kec. Binong subang


155
ust. Ma’mun
L
jungkelang kec. Binong subang


156
ust. Nasuha
L
jungkelang kec. Binong subang


157
warnita
L
jungkelang kec. Binong subang


158
bukhori
L
kebondanas pasukanegara subang


159
dawud
L
kebondanas pasukanegara subang


160
ilyas badawi
L
kebondanas pasukanegara subang


161
sholeh
L
kebondanas pasukanegara subang


162
mustoni
L
kebondanas pasukanegara subang


163
abdul halim
L
kebondanas pasukanegara subang


164
asnawi
L
kebondanas pasukanegara subang


165
hamam
L
kebondanas pasukanegara subang


166
ibnu hajar
L
kebondanas pasukanegara subang


167
musa
L
kebondanas pasukanegara subang


168
mustajab
L
kebondanas pasukanegara subang


169
nasuha
L
kebondanas pasukanegara subang


170
ust. Rido
L
kebondanas pasukanegara subang


171
ust. Saefudin s.pd.i
L
kebondanas pasukanegara subang


172
siti mayasaroh
P
kebondanas pasukanegara subang


173
siti nur faidzah
P
kebondanas pasukanegara subang


174
siti qonaah
P
kebondanas pasukanegara subang


175
surotun
P
kebondanas pasukanegara subang


176
ahmad fanani
L
haurgeulis inderamayu


177
nur laela
P
haurgeulis inderamayu


178
rohmah
P
haurgeulis inderamayu


179
saeful rohma
L
haurgeulis inderamayu


180
alek
L
batang pamanukan subang


181
raswan
L
batang pamanukan subang


182
tajri
L
batang pamanukan subang


183
abdul kholiq
L
kunir cipunagara subang


184
anwar
L
kunir cipunagara subang


185
holidin
L
kunir cipunagara subang


186
nawawi
L
tj. Salep sukadana compereng


187
nurudin
L
tj. Salep sukadana compereng


188
surdana
L
tj. Salep sukadana compereng


189
rosyid
L
tj. Salep sukadana compereng

Sistem Nilai di Pesantren Dan Ahl-u ‘l-Sunnah wa ‘l-Jamâ’ah

SISTEM nilai yang digunakan di kalangan pesantren adalah yang berakar dalam agama Islam. Tetapi tidak semua yang berakar dalam agama itu di...